Ahok, diantara polemik transportasi ibukota
WACANA penghapusan angkot dalam sebagian besar rute jalanan ibukota
oleh pimpinan Pemprov DKI Jakarta, jelas membuat kita bersungut-sungut.
Keberadaan angkot yang popular di berbagai kalangan masyarakat Jakarta,
dituding oleh pemprov sebagai biang keladi kemacetan Ibukota. Tudingan
ini tentu bernada tendesius (bahkan cenderung memfitnah). Pasalnya sang gubernur tidak menyertakan data-data akademis yang
mendukung statement tersebut, terutama berkaitan dengan pangkal
kemacetan Jakarta. Gubernur, hanya melontarkan ucapan dalam berbagai
media nasional bahwa angkot sangat tidak layak beroperasi dikarenakan
tidak memenuhi kelayakan operasional dan uji KIR. Bahkan Ia berencana
mengganti rute angkot yang ada dengan rute busway Transjakarta.
Padahal statistic dishub DKI Jakarta tahun 2014 menunjukkan angkot
sendiri sudah mengalami penurunan jumlah sekitar 3,7% dari tahun
sebelumnya (Statistik Transportasi Jakarta, BPS 2015). Maka realisasi
dari ide tersebut, tentu akan menguatkan dugaan dalam monopolisasi
transportasi Ibukota. Sebelumnya, bus-bus sedang seperti Kopaja dan
Metro Mini “dipaksa” berkongsi trayek dibawah paying Transjakarta. Pandangan Ahok dalam upaya memonopolisasi transportasi ibukota oleh
Pemprov DKI, perlu dicermati secara seksama. Kebijakan ini, secara tidak
langsung menunjukkan unsur-unsur kapitalisme terselubung dalam
pengelolaan transportasi Ibukota. Persaingan yang tidak sehat, akan
menjadi bom waktu bagi masyarakat ibukota yang “dicekoki” dalam
pemanfaatan moda transportasi umum.
Sebab dengan tidak adanya competitor, tentunya akan mempermudah
pemangku kebijakan dalam menentukan tarif pelayanan. Memang benar, bila
sekarang tarif transportasi Transjakarta bisa dikatakan terjangkau.
Namun kekhawatiran akan abuse of policy dalam penerapan pelayanan dimasa
mendatang, patut menjadi perhatian. Padahal persaingan dalam pelayanan transportasi diperlukan, guna
melahirkan terobosan-terobosan yang menuai manfaat bagi masyarakat.
Contoh nyata dari persaingan tersebut adalah antara transportasi
berbasis aplikasi dengan transportasi konvensional.
Meskipun demikian, regulasi dari persaingan tersebut harus menjadi
tanggung jawab pemerintah. Adanya regulasi diibaratkan sebagai rules of
the game dari kompetisi, sehingga pemerintah dapat menjadi penengah
dalam permasalahan yang mungkin terjadi. Di sisi lain, gubernur nampaknya terlalu lugu akan realitas angkot
yang sudah amat dekat dengan masyarakat menengah kebawah. Angkot (apapun
macam pengelolanya) sering digunakan oleh para pedagang sayur mayur
untuk membawa barang dagangannya menuju konsumennya yang tinggal di
pelosok kota. Angkot pulalah yang menghubungkan anak-anak sekolahan dari
sudut-sudut gang menuju tempat untuk menimba ilmu pendidikan.
Peniadaan peran pelayanan angkot nantinya dalam sebagian besar ruas
jalan ibukota, menunjukkan wajah gubernur yang pro kapitalis bourjouis.
Sebab disaat bersamaan pula, sang gubernur seakan mengakomodir pelayanan
transportasi kaum elit jenis taksi berbasis aplikasi online yang
nyata-nyata tidak berizin dan tidak berbagi apapun dalam membangun
kemajuan ibukota. Hal itu semua tentu bertentangan dengan mayoritas
masyarakat Jakarta yang terlahir sebagai kaum Proktaletar. Penghapusan trayek beberapa angkot, seharusnya bukan menjadi pilihan
dalam upaya mereduksi kepadatan lalu lintas Jakarta. Masih banyak cara
yang lebih efektif, yang bila diterapkan akan berdampak signifikan.
Bukankah sang gubernur dahulu sempat mewacanakan pembatasan kendaraan
pribadi. Lantas kita perlu bertanya, mengapa wacana tersebut hanya
berlalu bagai isapan jempol belaka dan tak kunjung terlaksana. Jika
angkot menjadi korban kebijakan, menunjukkan bahwa gubernur cenderung
menghasilkan kebijakan tumpul keatas namun menghempas kebawah.
Tentu kita masih ingat dengan garangnya kebijakan-kebijakan gubernur
dalam menggusur warga-warga pinggiran dengan tentara dan polisi
berbayar, namun seoalh melempem menghadapi konglomerasi
apartemen-apartemen mewah yang merampas lahan-lahan hijau Ibukota. Kita boleh setuju, apabila armada angkot direvitalisasi. Revitalisasi
tidak serta merta menghabisi peran angkot dalam aktivitas masyarakat
Ibukota. Pemerintah daerah dapat membuat regulasi waktu operasional
Angkot. Sekali lagi, perlu langkah-langkah bijak dari pemerintah
provinsi dalam mengurusi polemik di Ibukota. Permasalahan di Jakarta
harus dipandang dengan sikap yang mengutamakan jiwa manusiawi, bukan
sekadar memikirkan untung rugi duniawi. Sikap yang harus didasari atas
kesadaran nurani membela wong cilik tanpa menebar jaring-jaring citra
menjelang Pilkada.
Repost dari sini
Komentar
Posting Komentar