Journey To Lampung



Awal Bermula
Apa yang pertama kali anda pikirkan tentang Lampung? Gajah? Pisang? Ya , mendengar kata Lampung kita akan langsung menjurus pada Pelatihan Gajah di Way Kambas serta pisang lampung yang terkenal. Tak hanya itu, sebagian dari kita pasti akan membayangkan situasi jalur mudik ke sumatera via kapal laut. Nah pada kesempatan kali ini, saya akan membahas pertualangan ngebolang saya ke Lampung beberapa saat yang lalu.
Cerita ini bermula ketika terbersit pkiran saya untuk bersilaturahim dengan kawan lama saya di Lampung. Pada saat itu, secara kebetulan seorang teman meminta untuk turut bersama saya dan merealisasikan bayangan saya itu. Walhasil, langsung lah kita berdua mencari tempat yang bisa disinggahi sebagai ‘pelampiasan kejenuhan’ di Pabrik. Ya hitung-hitung wisata lah. Dan, Voila! Kami menemukan destinasi wisata yang cukup menggoda, bernama pulau Condong beserta pantai  pasir putih.
Kami pun memutuskan berangkat jum’at malam, tepatnya pukul 11 an malam. Saya hanya membawa tas sandeng, sementara kawan saya mengenakan tas ransel. Kami ke pelabuhan merak menaiki angkot ke merak dari cilegon. Sekitar setengah jam, kami pun tiba di merak harbour. Tiket pun kami pesan. Cukup murah ke lampung (bakhaeuni) via laut, hanya dengan merogoh kocek 13 ribuan. Tepat jam 12 malam, jangkar kapal ditarik dari Merak. Ini adalah pengalaman pertama kawan saya menaiki kapal, sementara bagi saya tidak asing. Pasalnya saya punya darah sumatera, sehingga beberapa kali pernah menjejakkan kaki di bumi Andalas. Di kapal , teman saya tertidur pulas. Sementara saya, berusaha menikmati semilir angin malam di atas kapal sembari ditemani oleh seseorang di ujung sambungan kawat. Melalui sambungan itu, dia bercerita mengenai film india yang baru ditontonnya, dan saya menikmati penjelasannya. Saya pun bercerita mengenai agenda perjalanan saya saat itu kepadanya. Dia pun mengingatkan saya untuk lekas tidur, menjaga kondisi badan saya selama diperjalanan. “Jangan tidur malam kak”, begitulah kira-kira bunyi pesannya. Ya, itulah sedikit bumbu dalam perjalanan ini. J
Setelah 2,5 jam di kapal, kami pun tiba di bakhaeuni. Sesampainya disana, saya sedikit  terganggu dengan kumpulan supir travel yang menjajakan layanannya kepada penumpang baru.
“Mas, mau kemana mas?”, itulah kalimat yang diulang-ulang oleh para supir travel kepada kami. Saya pun dengan tegas menjawab : “Rajabasa”. Ya , disanalah kami nanti bersua dengan kawan lama saya. Setelah berjuang melewati hadangan para supir, kami pun memutuskan untuk menaiki bus AC. Sayangnya, kami harus duduk berdua di kursi kernet. Ditengah kondisi suntuk+Ngantuk, kami pun terpaksa menikmati perjalanan menuju Rajabasa,Bandar Lampung. Sekursi berdua :D
“Hutan semua ya, mad?”, ujar Kang Ican bertanya padaku.
“Kebun ini, kang”, jelasku.
Ditengah perjalanan itu, saya hanya mendengar kan ocehan seorang wanita dari Jawa, yang banyak bertanya kepada sang supir. Saya pun berkesempatan bertanya pada sang kernet, mengenai letak pantai pasir putih Karahan. Dia pun berjanji untuk menurunkan busnya di lokasi yang kami tuju.
Foto belah pinggir -_- (jangan liat orangnya, liat pemandangannya)



Yang mana yang patung? xixi














Pasir Putih, Pesona Pulau Condong
Terdampar di Pulau
Pulau condong di satu sisi
Setelah melalui perjalanan panjang, kami pun diturunkan di lokasi Pantai Pasir putih. Pagi buta sekali kami tiba di pantai itu. Kesan pertama saya , adalah bahwa pantai ini merupakan kamp militer. Dan benar saja, memang pantai ini memang pantai latihan buat para tentara. Kedatangan kami disambut oleh patung-patung besar yang membuat bulu kuduk saya bergidik. Setelah melihat sejenak lokasi pantai putih, saya pun mengajak kawan saya untuk mencari masjid yang letaknya tak begitu jauh dari sana. Di masjid, kami menunaikan shalat shubuh dan sedikit melepas “jet lag” perjalanan. Pukul setengah tujuh, kami menyempatkan sarapan nasduk disana. Sembari makan nasduk, kami berusaha mencari tahu cara ke pulau condong yang letaknya diseberang pantai. Tak perlu waktu lama untuk kami mendapatkan informasi tersebut. Kami menyewa kapal kecil kesana, 150 ribu/kapal. Kapal ini bisa muat untuk 10 penumpang.
Sesampainya di Pulau tujuan, kami serasa seperti orang-orang yang terdampar. Pulau Condong, hampir tak berpenghuni. Hanya ada seorang nenek tua yang menyambut kami dengan penuh senyum sembari menyerahkan tiket masuk seharga 3000/orang. Selain itu kami juga melihat beberapa villa tua yang mulai tak berbentuk sebagaimana mestinya. Sungguh amat disayangkan melihat potensi pariwisata yang ada di Pulau ini, namun pemerintah setempat tidak memaksimalkannya. Di pulau condong, kami melepas penat dengan ‘nyemplung’ di Air yang jernih.
Puas bermain air dan berdokumentasi ria, kami pun ditawarkan untuk mengelilingi pulau ini oleh sang juru mudi kapal. Syaratnya kita disuruh menambahkan uang bensin sebesar 30 ribu. Tanpa pikir panjang, kami pun menyetujuinya. “Kapan lagi coba?” , pikirku dalam hati. Ternyata tak butuh waktu lama untuk mengetahui seluk beluk pulau ini. Di sisi lain pulau ini, ternyata tampak serupa. Indah namun tak terurus. Usai berwisata ke pulau condong, kami pun meneruskan perjalanan kami ke Bandar Lampung.

Bandar Lampung, Kota Tapis Berseri
Suasana Trans Lampung
Perjalanan kami ke Bandar Lampung dari pasir putih menggunakan Trans Lampung (Mirip-mirip bus way lah). Dalam Busway khas lampung ini kami bersua dengan seorang lelaki tua berjubah putih , namun sedikit kumuh (Husnudzan ku, mungkin dia seorang musafir). Ia tampak mengajak mengobrol temanku, mengenai aktifitas dakwah yang ia jalani. “Ah ini mah seorang Jamaah Tabligh” , pikirku saat mengetahui isi pembicaraan tersebut. Setelah kawanku tampak menunjukkan kebosanan akan pembicaraan dengannya, ia mencoba mengobrol denganku. Dengan mudah aku langsung ‘connect’ dengan dia, karena sedikit banyak aku paham dengan yang namanya dunia dakwah. “Saya juga dulu pernah mabit kok, pak. Tapi gak sampai tuntas”, ujarku saat dia menjabarkan serba serbi perjalanan para Jamaah Tabligh lalui (termasuk dirinya sendiri). “Oh ya?” , orang tua itu tampak penasaran. “Iya dulu pernah ke Markas”. Lelaki itu pun sumringah. Tak berapa lama setelah percakapan itu, kami pun tiba di Terminal Rajabasa . Disana kami sudah ditunggu oleh teman satu organisasi ku.
Selama disana, kami pun diajak berkeliling untuk mengenai kota lampung. Kami juga dijelaskan mengenai beberapa kebiasaan masyarakat lampung, mulai dari ditemukannya logo tapis pada setiap pusat bisnis hingga sifat orang lampung yang diam-diam menghanyutkan. Bahkan pada malam harinya, kami melewati kawasan pemukiman padat di pinggiran kota (yang ternyata adalah kawasan Lokalisasi di sana). Ini merupakan pengalaman menarik bagi saya, karena kami hanya ‘sekadar’ lewat, bukan berniat untuk melakukan macam-macam. Lokalisasi disana amat mengherankan, sebab menurut penjelasan teman seorganisasi saya , pembagian kelas “harga” dapat ditentukan melalui gang-gang yang berada disana. Benar saja, saat kami melewati gang “kelas atas” banyak (maaf) WTS yang berpostur ‘aduhai’ lagi berwajah menarik. Ada sebuah kejadian unik, disaat kami melalui sebuah gang, kami dihadang oleh para wanita berpakaian minim. Tujuannya adalah kami dipaksa untuk ‘bermain’ dengan mereka atau minimal memberi uang ‘palak’ kepada mereka. Kalau tidak memberi, biasanya salah satu benda yang melekat di kami.
Sial bagiku saat topi ku ternyata ikut-ikutan diambil oleh mereka. Lucunya mereka tak merasa bersalah akan perbuatan itu. Malah tertawa cekikan saat aku linglung plus panic diambil topinya.Tapi akhirnya aku ikhlaskan saja. Daripada aku turun lalu dipaksa bermain dengan ‘mereka’ -_-.  Kami pun melanjutkan perjalanan mengelilingi kota lampung , dimana beberapa bundaran kami lewati. Esoknya kami pun memutuskan untuk mengakhiri pertualangan ku di lampung

Berlayar dengan Kapal Pesiar
Kepulangan kami ke Merak dari bakhaeuni menggunakan  kapal port link milik ASDP. Kapal ini cukup besar dan menurutku merupakan bekas kapal pesiar. Sebab banyak interior didalamnya berisi khas kapal pesiar. Kami amat nyaman disana terlebih lagi ada pramugari kapal yang menyambut kami J .Dalam kapal tersebut, aku berjumpa dengan rombongan anak sekolahan yang berasal dari Metro, Lampung. Mereka hendak study tour ke Jakarta dan Jogja. Aku pribadi mengobrol banyak dengan beberapa orang dari rombongan itu.
Well, tepat jam 9 malam aku dan kawanku tiba di kontrakan. Membawa banyak cerita dari Serambi Sumatera J

Awal Juni 2014

Komentar

Postingan Populer