Pilpres 2014 : Belajar dari Piala Dunia 2014
Ada dua event besar yang terjadi
pada awal pertengahan bulan ini. Yang pertama adalah berlangsungnya laga
pamungkas dari Piala Dunia 2014 di Brazil. Piala Dunia yang dihelat tahun
sekarang, memang menjadi sorotan utama dari seantero jagad raya. Bukan hanya
menampilkan kejutan dengan lahirnya ‘kuda hitam’ seperti kolombia, Belgia ,dan
kostarika, namun juga membenamkan tim-tim besar yang mempunyai tradisi serta
kualitas juara sepak bola turun-temurun.
Sebut saja Spanyol, yang mesti
dibantai Belanda 5-0 dilaga perdana, Inggris dan Italia yang pulang kampong setelah dipaksa bermain cukup keras melawan
Kostarika, serta Portugal yang kalah 4-0 dari Jerman.Tak hanya itu, mata kita
juga dibuat terbelalak dengan dicukurnya Tuan Rumah sekaligus Juara Dunia lima
kali Brazil oleh Jerman 7-1! Sungguh
skor yang membuat hancur lembur rakyat negeri samba dan menjadi antiklimaks dari penyelenggaraan
Piala Dunia. Jerman pun, tampil menjadi Juara ajang bergengsi 4 tahunan ini
setelah menaklukan Argentina.
Event yang kedua adalah Pemilihan
Presiden yang berlangsung pada 9 July 2014. Event ini juga tak kalah hebohnya
setelah dibumbui oleh serangkai debat capres hingga beredarnya ajakan untuk
tidak memilih salah satu calon di hari-hari tenang. Dalam konstelasi pemilihan
pemimpin bangsa ini, Lembaga Survei mendadak tenar pasca diumumkannya dua hasil
quick count yang memenangkan kedua pasangan calon. Bahkan ada salah satu calon
yang mengklaim menang mutlak, lalu menuduh pihak lainnya berbuat kecurangan.
Tak hanya itu, KPU pun dituding berpotensi ‘salah hitung’ bila tidak
memenangkan calon tersebut. Sungguh ironi, disaat negeri yang dipandang paling
demokratis ini justru terjebak pada ‘pengklaiman kebenaran’ tanpa menghargai
perbedaan dan hukum yang mendasar.
Dari dua event besar tersebut,
tentu kita mengambil pelajaran yang berarti dari sebuah kompetisi. Dalam Piala
Dunia misalnya, kita belajar bahwa tak semua Negara unggulan akan melaju mulus
melewati fase-fase di Piala Dunia. Bahkan Jerman sekalipun, mesti bersusah
payah mengalahkan Aljazair dan Prancis, sebelum menang besar atas Brazil.
Begitupula dengan tim-tim favorit justru ‘melempem’ dan tersingkir pada
kompetisi ini, termasuk Brazil selaku Tuan rumah. Ini mengajarkan kita, bahwa
yang favorit belum tentu Juara. Alangkah indahnya pemikiran ini
ditransformasikan ke ajang Pilpres 2014, disaat ada yang ‘dijagokan’ maka belum
tentu jadi pemenang. Pilpres 2014 mengajarkan kita untuk siap menerima
kekalahan alias legowo atas final count yang
akan dilakukan serta diumumkan oleh KPU pada 22 July. Bukan malah menuduh
lembaga yang berwenang ini, melakukan kecurangan/manipulasi dan tuduhan miring
lainnya. Kekurangan maupun kelemahan pasti akan ada dan inilah yang harus kita tetap
mensupport penyelenggara pemilu ini agar dapat melaksanakannya tugasnya sebaik
mungkin. Sebagai rakyat Indonesia, kita tentu akan menerima siapapun pemenang
dari kompetisi ini. Yang kita tidak terima adalah provokasi dan politik pecah
belah yang merusak akal sehat anak negeri. Bangsa ini masih panjang dalam jalan
perjuangan, memenuhi harapan para peretas kemerdekaan. Persatuan dan kedewasaan
menjadi unsur penting dalam menjaga semangat founding father . Maka bila ada yang mencoba merusaknya dan
memperkeruh suasana, hanya satu kata: Lawan!
NB: Tulisan ini juga dimuat di kolom opini eramadani.com , 15 July 2014 (http://eramadina.com/pilpres-2014-belajar-dari-piala-dunia-2014/)
NB: Tulisan ini juga dimuat di kolom opini eramadani.com , 15 July 2014 (http://eramadina.com/pilpres-2014-belajar-dari-piala-dunia-2014/)
Komentar
Posting Komentar