Bukan Salah Wanita

Wanita kerapkali dipandang sebagai 'objek' oleh kebanyakan orang
http://us.m.news.viva.co.id/news/read/468772-inferno--neraka-di-bumi--betulkah-?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook << Beberapa saat yang lalu saat membaca ulasan ini, terpikir oleh saya untuk membuat "opini" mengenai topik yang dibahas oleh penulis: ledakan penduduk. Di awal penulisan, penulis mencoba mengulas buku karya Dan Brown. Siapa yang tak kenal dia, seorang novelis kontroversial 'Angel and Demons' ini berusaha mengupas sisi lain dari agama yang telah lama dia yakini: Nasrani. Dalam bukunya ini juga ia menceritakan rencana ilmuwan-Ilmuwan yang fundamentalis terhadap agama (atau ortodoks dan loyal terhadap gereja vatikan) untuk menghentikan laju pertumbuhan penduduk dengan genosida.
Tak ayal, ini yang mungkin menjadi inspirasi bagi kakanda Andi Malarangeng: sang penulis ulasan yang link nya ada dimuka. Menurutnya, cara yang dilakukan tokoh khayalan Dan Brown terlampau ekstrim bahkan radikal. Untuk menghambat bahkan mengurangi laju pertumbuhan penduduk, tidak serta merta harus menumpahkan banyak darah dan memenggal banyak kepala. Melalui tulisannya, kanda Andi Malarangeng, nampaknya berupaya menjelaskan teorinya secara halus untuk mengurangi ledakan penduduk (yang disebabkan laju pertumbuhan tidak terkendali). Ia mencetuskan teori 'wanita karir' untuk menghindarkan manusia dari inferno menuju paradiso, lalu apa yang ditakutkan dalam ramalan Malthus bisa dihindari.

Dalam teori singkatnya, Kanda Andi Malarangeng menggambarkan bahwa sosok wanita karir mempunyai kesadaran yang lebih tinggi untuk menyikapi laju pertumbuhan penduduk. Wanita karir, dipandang lebih berambisi dalam mengejar hal-hal yang berbau kepuasan pribadi seperti tumpah ruah kekayaan, jabatan kekuasaan, bahkan perawatan kecantikan. Inilah yang menjadikan kebanyakan wanita karir lebih  'ogah' melangsungkan  pernikahan ,menunda memiliki momongan dan menambah keturunan. Bagi mereka, hal -hal diatas hanya menghambat ambisi mereka dalam mengejar kepuasan pribadi.
Disisi lain, para wanita non-karir (baca: wanita rumah tangga) dipandang sebagai 'budak seks' bagi suami-suami mereka. Mereka hanya menerima asupan dari harta suami, lalu membalasnya dengan memberikan layanan kepada suami. Ini jualah yang diprakirakan, menyebabkan wanita jenis ini rela bila rahimnya menelurkan banyak jabang bayi hasil dari pelayanan mereka. Ditambah lagi dengan sikap inferior istri terhadap suami, membuat kebanyakan istri 'agak takut' menolak ajakan suami untuk nambah rezeki :) .
Secara pribadi, saya kurang sepakat sepenuhnya dengan teori ringkas dari senior saya di organisasi HMI ini. Masalahnya, beliau menempatkan berbeda para wanita hanya didasarkan strata. Padahal semua manusia itu sama. Termasuk wanita didalamnya. Bila sebelumnya kita berkoar-koar mengenai emansipasi wanita dan kesetaraan dengan pria, mengapa kita tidak memberi emansipasi wanita dalam diri wanita itu sendiri tanpa mengkasta-kastakan diantara mereka? . Disisi lain kita memuji wanita (karir) sementara disisi yang berbeda kita 'tampak' melecehkan wanita (rumahtangga) lainnya.
Pilihan wanita karir atau rumahtangga sebenarnya adalah hak individu bagi seorang wanita. Sepengetahuan saya, Rasulullah sendiri dalam suatu riwayat memperbolehkan seorang wanita/istri mencari nafkah guna membantu keluarga. Tak ada yang berbeda antara wanita rumahtangga dan wanita pekerja. Namun, bila disuruh memilih istri maka saya akan memilih seseorang yang siap menjadi wanita rumahtangga. Sebab saya ingin anak-anak saya kelak di didik oleh wanita yang saya pandang bak bidadari.
Sikap saya ini, bukan berarti menolak wanita untuk bekerja. Bekerja sah-sah saja, namun patut diingat bahwa kewajiban seorang istri adalah mendidik serta membina anak-anaknya. Sementara bekerja (menafkahi) adalah kewajiban seorang suami. Karena kewajiban itulah seorang suami dituntut lebih bertanggung jawab dan bermental 'fighter spirit' dalam mencari nafkah.
Wanita rumahtangga, bukan sekonyong-konyong hanya sekadar pemanis rumahtangga apalagi jadi 'budak seks' bagi suaminya. Ada tanggung jawab khusus didalamnya guna membina serta mendidik anak-anaknya dengan kelembutan dan kasih sayang. Tugas inilah yang menurut saya jarang 'dilakukan' oleh para wanita karir, sebab mereka lebih berorientasi kepada kepentingan mereka pribadi. Padahal bila sudah berkeluarga, maka kepentingan bersama (baca:keluarga) harus menjadi landasan utama.
Mengenai ledakan penduduk akibat laju pertumbuhan penduduk yang tak terkendali, agaknya naif bila wanita non-karir dijadikan kambing hitam. Bomb population, tidak serta merta disebabkan oleh 'lemahnya' sikap para wanita non-karir terhadap suami-suami mereka. Wanita karir pun, juga bisa turut menjadi penyebabnya. Sebab sejak era globalisasi dimulai, paradigma bahwa wanita karir itu 'gila kerja' sehingga 'lupa cinta' sudah sirna. Sekarang sudah banyak wanita karir yang 'gemar bercinta', bahkan menghasilkan 'buah cinta' dari perbuatannya.
Saya setuju bila ledakan penduduk akan jadi bom waktu bagi ummat manusia. Saya juga setuju, bila untuk menghadapi ledakan penduduk tak mesti menggunakan cara-cara genosida layaknya Hitler atau para tentara Amerika. Saya juga setuju, bahwa wanita bisa ikut andil dalam menghadang ledakan penduduk. Tapi saya tidak sepakat, bila adanya pengkastaan dikalangan para wanita. Ini yang harus disadari bahwa permasalahan ledakan penduduk, bukan sekadar masalah strata wanita karir dan non-Karir. Bukan juga masalah pola pikir para wanita.
Masalah ledakan penduduk, sejatinya merupakan masalah pria. Sebab bila dipikir-pikir, andai pria lebih sabar 'menyarungi' senjatanya, maka wanita tak usah repot berkeringat menuai benih yang kita tanam. Namun bukan berarti kita menolak banyak keturunan. Kita boleh saja menyusun srategi untuk menghasilkan berapa banyak para penerus kita, dan harus dapat bisa kita kendalikan. Sebab anak adalah amanah dari Tuhan, jadi bila kita menuntut amanah tapi akhirnya disia-siakan, maka nikmat manalagi yang engkau dustakan?

Komentar

Postingan Populer