Gemerlap di Kota Tua
Riuh ramai bersorak dari
sekumpulan orang mewarnai petang di lapangan Fatahillah. Sorak sorai mereka
bukanlah sedang menyaksikan pertandingan sepakbola antara Real Madrid versus
Barcelona, melainkan sedang melihat atraksi budaya.
Keriuhan mereka terkadang
berbalut dengan tawa bahagia dan decak kagum tak mengira. Ya,disini banyak
sekali atraksi budaya mulai dari topeng monyet, debus, bahkan pantonim. Ragam
budaya yang ditampilkan, tidak pernah saya temui sebelumnya di tempat yang sama
dalam kurun waktu empat tahun yang lalu. Saat itu aura kawasan kota Tua(termasuk
museum Fatahillah), memang terasa kuat di zaman kolonial Belanda .Arsitektur
gedung tua berbalut aroma kapur , pekat terasa di hidung para pengunjung
wisata. Bahkan kesan horror nan mencekam cukup membuat bulu kuduk kita
bergidik. Tapi itu dulu, empat tahun yang lalu. Perkembangan zaman yang pesat
mengubah kota tua yang sedikit suram, menjadi lebih berwarna. Dahulu kota tua
hanya dikunjungi oleh penikmat sejarah, rombongan pelajar maupun wisatawan
asing. Penjaja ekonomi, baik penjual cinderamata atau makanan juga masih jarang ditemui. Tapi kini, situasi
berbeda terekam oleh mata kepala.
Muda-mudi yang saling bertukar
mesra, sudah menjadi pemandangan yang biasa disana. Kota tua seakan sudah
menjadi surga bagi para pasangan yang dimabuk cinta. ”Karena disini murah meriah”, jawab salah satu dari mereka ketika
saya bertanya alasan memilih kota tua menjadi destinasi berkasih mesra. Suasana
yang tercipta disana, memang berbeda dengan pusat aktivitas Jakarta yang penuh
dengan penat yang menyiksa. Damai dan sejahtera, itulah yang diakui mereka
rasa. Kondisi tersebut menjadikan kota tua ramai dikunjungi sebagai salah satu
tujuan alternatif wisata. Dampak dariaktivitas tersebut, ragam kreativitas
usaha merebak di kota tua. Mulai dari penyewaan sepeda, penjualan cinderamata, serta
atraksi budaya. Bahkan disana, musisi jalanan merajalela. Biasanya mereka
berdendang berirama di depan dua insan yang kasmaran. Itulah sebagian dampak perkembangan
zaman, yang meremajakan wajah Kota Tua.
Di penghujung petang, pasar
dadakan pun bermunculan dalam kawasan Kota Tua. Riuh yang hadir dalam petang, tak
terdengar lagi. Gemerlap lampu taman, berganti
dengan lampu LED milik pedagang yang berjualan. Kita boleh berbangga. Kota Tua,memang
telah menjadi tujuan wisata. Pemerintah daerah Jakarta boleh bahagia, karena
pemasukan dari daerah wisata menjadikan masyarakat disekitarnya menjadi lebih
sejahtera. Namun, pemerintah daerah harus tetap terus menjaga Kota Tua bukan
sekadar tujuan wisata melainkan juga warisan budaya. Dengan menjaga warisan
budaya, maka kita ikut mencintai Indonesia sebagai bangsa yang berkarakter
mulia.
Komentar
Posting Komentar